ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN
Dikerjakan Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pembelajaran SKI
MI/SD
Dosen Pengampu : Manijo,
M.Ag
Oleh:
Lu’luk Il Maknun
(1410310105)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
2017
ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN
Syeh Jangkung atau biasa dipanggil Mbah Saridin adalah tokoh fenomenal
yang menjadi sejarah legendaris warga Pati dari zaman ke zaman lintas generasi.
Hidup pada era Walisongo sekitar abad 15. Makamnya terletak di
Desa Landoh, Kecamatan Kayen sejauh lebih kurang 17 Km dari Kota Pati. Kepandaian,
keahlian dan ketokohan seorang Saridin ini tidak dapat
diragukan lagi. Hal ini dibuktikan dengan
berbagai keahlian dan kepandaian yang dimilikinya seperti kepandaian
dalam bidang agama, ilmu ketabiban, kanuragan, ahli siasat perang dan pertanian.[1] Saridin menjadi
representasi dari tokoh rakyat yang
berani memperjuangkan kebenaran bahkan melawan ketidakadilan secara lugu tanpa
kekerasan dalam berhadapan dengan siapapun termasuk pihak penguasa Kadipaten
Pati bahkan dengan Sunan Kudus pada masanya.
Sekitar masuknya Islam di Pati mendapat pengaruh besar dari peranan Syekh
Jangkung semasa hidupnya. Berdasarkan sumber dari jurnal yang peneliti temukan,
Saridin merupakan putra Ki Ageng Keringan yang bernama Sayid Abdullah ’Asyiq
dengan Nyi Sujinah yang bergelar Dewi Samaran.[2] Saridin dilahirkan
di Landoh, Kiringan, Kayen, Pati. Dinamakan Saridin (dari dua kata “sari”
berarti inti/esensi dan kata “din” berarti agama), sehingga Saridin dimaksudkan
sebagai sarinya agama (esensi agama).
Jejak langkah Saridin masih merupakan misteri, namun setidaknya menurut
juru kunci makam Saridin, RH. Damhari Panoto Jiwo, menjelaskan bahwa Saridin
adalah putra dari Syekh Abdul Hasyim dari Timur Tengah yang sedang mengembara
di Jawa. Berdasarkan literatur Jawa, rupanya Ki Ageng Keringan merupakan orang
tua angkat Saridin. Versi lain[3]
menyatakan bahwa Saridin yang memiliki nama asli Raden Syarifudin merupakan
putra dari Raden Singa Parna (Syekh
Safi’i) bersama ibu Robi’ah Attaji (Sekar Tanjung). Seperti dalam penafsiran
pondok pesantren yang terletak di sekitar makam area makam.
Saridin dikenal dengan Syekh Jangkung tak lepas dari kepribadiannya yang
dikenal sebagai pribadi yang dikinasih oleh Sang Pencipta dan jangkung
(dikabulkan) segala permintaannya. Maka dalam bahasa Jawa disebut Sih
(kinasih) Jangkung (dikabulkan). Dalam jurnal yang ditulis oleh Mulyani,
mengatakan bahwa gelar Syekh yang disandang oleh Saridin merupakan gelar yang
diberikan oleh kesultanan Rum dari tangan Johanspre. Sejak saat itu
lenyaplah nama Saridin, yang terdengar
hanyalah Syekh Jangkung.
Sebelumnya Saridin telah menikah dengan istri pertamanya yang bernama
Sarini. Memiliki putra Momok, namun akhirnya meninggal ketika masih perjaka.
Lalu menikah lagi dengan putri dari Cirebon yang bernama Pandan Arum. Memiliki
putra satu, bernama Raden Tirto Kusumo. Akhirnya menurunkan generasi hingga
sekarang, yakni RH. Damhari Panoto Jiwo sebagai keturunan ke-11.[4]
Kepopuleran
Saridin dalam masyarakat bawah (grass root) bukan saja karena berbagai
keanehan sikap dan perilakunya di zaman kuwalen (walisongo), terutama ketika
bergumul dan berinteraksi dengan Sunan Kudus, tetapi dia juga meninggalkan
berbagai ajaran yang masih melekat dalam masyarakat lokal
di Pati. Diantara ucapan Saridin adalah “Ojo njupuk nek ora dikongkon, ojo
njaluk nek ora di dowek’i (Jangan
mengambil sesuatu, kalau tidak mendapatkan ijin yang memiliki, jangan meminta
kalau bukan miliknya). Yang tak kalah menarik laku – lampah (perilaku) Saridin
yang kocak dan penuh digdaya sudah banyak direproduksi dalam berbagai cerita
dalam ketoprak.[5]
Kethoprak juga diungkapkan oleh Kayam,[6]
bahwa kethoprak merupakan bentuk teater
yang paling popular di kalangan masyarakat dari pertama muncul sampai
pertumbuhan sekarang. Pada mulanya kethoprak adalah permainan yang merupakan
hiburan santai di waktu senggang di kalangan rakyat pedesaan, dengan
mempergunakan alat-alat seadanya. Mereka berusaha mengombinasi bunyi yang
dihasilkan dengan tarian yang bersifat improvisasi sebagai suatu pertunjukan
yang menggunakan dialog untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Maka ketoprak
merupakan suatu alat yang cocok digunakan dalam berdakwah membumikan Islam di
daerah pati pada masanya, bahkan sampai dewasa ini. Termasuk didalamnya, yakni
pesan-pesan Saridin tentang keIslaman bagi nusantara, khususnya masyarakat
Pati.
Tepat di pintu masuk menuju Makam Syeh Jangkung, terdapat ornamen seni
dua buah kelapa hijau. Dua buah kelapa tersebut menunjukkan kenangan riwayat
perjalanan panjang Saridin, mulai dari membuktikan kebenaran adanya ikan dalam setiap
air, termasuk di dalam buah kelapa saat ditanya Sunan Kudus, dua buah kelapa
sebagai bekal bagi Saridin yang digunakan sebagai pelampung dalam pertapaannya
atas perintah Sang Guru sejati (Sunan Kalijaga), dengan membawa pesan tidak
boleh makan jika tidak ada makanan yang datang dan tidak boleh minum jika tidak
ada air yang turun. Termasuk kisahnya, Saridin yang pernah memanjat buah kelapa
yang sangat tinggi lalu menjatuhkan diri dari atas, sebagai bentuk perwujudan
serah diri pada yang Maha Kuasa dengan memberi esensi makna syahadat.
Saat Saridin berguru dan nyantri di Pondok Pesantren asuhan Sunan Kudus,
dari peristiwa yang dinilai Sunan Kudus sebagai tindakan pamer kesaktian ini,
Saridin diusir dari tanah Kudus. Perjalanan selanjutnya, Saridin bertemu dengan
Kanjeng Sunan Kalijaga, lantas didaulat sebagai murid kanjeng Sunan Kalijaga.
Waktu berjalan dan Saridin kemudian dijuluki Syekh Jangkung. Dari ajaran
Kanjeng Sunan Kalijaga ini, Syekh Jangkung diminta untuk menyebarkan agama
Islam di Kadepaten Pesantenan Pati (nama Kabupaten Pati dulu), waktu dipimpin
oleh Adipati Kembangjoyo atau bergelar Wasis Joyokusumo.[7]
Syekh Jangkung pertama kali mencoba untuk menyebarkan ajaran Islam di
Desa Miyono yang lantas membawanya kepada perjalanan panjang karena terkenan
tuduhan membunuh Branjung dan akhirnya dihukum mati. Lantaran Syekh Jangkung
benar-benar sakti tapi lugu, Syekh Jangkung tidak mati dalam sebuah hukuman.
Dari sini Syekh Jangkung kemudian melarikan diri ke Kudus dan hendak berguru ke
Sunan Kudus. Lagi-lagi Syekh Jangkung membuat ulah dengan keluguannya yang pada
akhirnya Sunan Kudus tidak berkenan dengan Syekh Jangkung.[8]
Karena berbagai keistimewaan dan kelebihannya, menurut cerita Saridin
ketika dewasa berkelana di daerah-daerah pulau Jawa bahkan sampai di Sumatera
untuk menyebarkan agama Islam.[9] Saridin
tidak hanya terkenal di pesisir Jawa, Demak, Kudus, Pati, Rembang tetapi juga
sampai di Cirebon, Betawi dan Palembang. Sedangkan di Kerajaan Mataram, Saridin
diambil ipar oleh Sultan Agung, karena kakaknya Sultan Agung yang bernama Den
Ayu Retno Jitu dipersunting oleh Saridin yang makamnya bersebelahan dengan
Saridin di Kayen, Pati.
Karomah Syekh Jangkung bernama asli Saridin ini melegenda hingga saat
ini. Terungkaplah apa rahasia dibalik sosok sederhana yang sejak kecil dikenal
wali ‘njadab’ ini dalam ajaran Syekh Jangkung yang ditulis Syekh Jangkung yaitu
“Suluk Saridin”.[10]
Suluk ini adalah bukti bahwa Syekh Jangkung adalah sosok penyebar agama Islam
di wilayah Grobogan (masa hidup Syekh Jangkung muda dan wilayah Pati (ketika
dewasa) dan sekitarnya.
Masyarakat desa pada awalnya dikenal dengan sistem kepercayaan animism
dan dinamisme yang sangat kuat.[11]
Kepercayaan animism dan dinamisme merupakan kepercayaan asli masyarakat Jawa
(terutama pedesaan), kemudian disusul datangnya pengaruh hindu budha.
Waktu berjalan, ajaran-ajaran Islam yang diajarkan para gurunya
diteladani dan disebarkan oleh Saridin di desa-desa dari mulut ke mulut. Tuah
karomah sejarah hidupnya menjadi daya tarik bagi orang-orang Jawa. Mereka yang
awalnya beragama Budha, Hindu dan animism berdatangan ke Syekh Jangkung untuk
belajar agama Islam.
Dikisahkan, Saridin dan sang anak lelakinya, Momok membangun pondok
pesantren di desa Landoh, yang menjadi desa terakhir sampai Saridin wafat.
Untuk menghidupi pondok, mereka babat alas dan membuat sawah serta menjadi
petani. Untuk memudahkan pekerjaan, saridin menggunakan kerbau (yang disebut
sebagai kerbau landoh) untuk membajak sawah. Pada akhir hayatnya, Saridin
berpesan kelak kalau dirinya wafat maka kerbau landoh itu juga harus
disembelih. Para santri dan keluarganya benar-benar melaksanakan pesan ini
ketika Syekh Jangkung wafat.[12]
Daging kerbau landoh dibagi-bagikan ke warga sekitar pondok, dan hingga saat
ini kebiasaan membagi-bagikan daging kerbau itu masih dilestarikan masyarakat
Pati bagian selatan khususnya desa Kayen, Sukolilo, Gabus dan Winong.
Demikian sedikit riwayat hidup Syekh Jangkung yang menjadi bukti
hidupnya Islam di Pati Selatan di tangan Saridin (Syekh Jangkung). Beliau mendapatkan keistimewaan disisi Sang Khaliq. Maka tak berlebihan
kalau Saridin dijuluki sebagai pribadi yang kinasih (Sih-Syeh) dan
dijangkung (dikabulkan) segala ucapannya. Maka terkenal dengan Syekh
Jangkungnya.
KeIslaman Saridin sudak tidak bisa diragukan lagi. Selain dari nasab yang
baik, sebagai telah ditulis pada awal artikel ini, Saridin juga dikenal
memiliki para guru istimewa dari para Wali kenamaan di Jawa, mulai dari Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria hingga Sunan Kudus, meskipun juga sarat
dengan ”konfilk” dan ontran-ontran. Dengan demikian tidak diasingkan lagi bahwa
peran Saridin dalam mengenalkan Islam kepada khalayak juga tidak bisa diabaikan
begitu saja. Mentalitas Saridin yang ikhlas, sabar, taat kepada guru dan orang
tua, jujur dan iman kepada Allah SWT adalah nilai-nilai positif yang relefan
dengan pendidikan karakter dalam konteks dulu sampai kekinian.
RUJUKAN:
Endrasara, Suwardi. 2005. Tradisi
Lesan Jawa, Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi
Mulyani, Hayuntri. Jurnal:
Studi tentang Kompleks Makam Syekh Jangkung di Dukuh Landoh, Desa Kayen,
Kecamatan Kayen Kabupaten Pati. Surakarta: UNS
Primastuti, Rendu
Mahardika. 2009. Skripsi: Nilai-nilai Pendidikan Islam Lakon Syekh Jangkung
Andum Waris Versi Ketoprak Sri Kencono di Pati. Semarang: Unnes
Said, Nur. 2011. Jurnal
Teologia: Saridin dalam Pengumulan Islam dan Tradisi: Relevansi Islamisme
Saridin Bagi Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir
http://galihramadlan.blogspot.com/2012/01/kehidupan-dan-kebudayaan-masyarakat.html
http://www.walijo.com/2015/31/01/syeh-jangkung-murid-sunan-kalijaga
https://wongalus.wordpress.com
[1] Hayuntri Mulyani, Jurnal: Studi tentang Kompleks Makam Syekh Jangkung
di Dukuh Landoh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, (UNS
Surakarta, t.th), hlm. 3.
[3] Lihat dalam http://www.walijo.com/2015/31/01/syeh-jangkung-murid-sunan-kalijaga, diakses pada 30 Mei 2017 pukul 22.00 WIB
[5] Ketoprak merupakan seni pertunjukkan tradisi lisan popular di Pati.
Penamaan istilah kethoprak tak lepas dari kata “prak” yaitu suara keprak
(kenthongan) kecil yang selalu ditabuh saat transisi antara satu cerita dengan
cerita lainnya. Lihat Suwardi Endrasara, Tradisi Lesan Jawa, Warisan Abadi
Budaya Leluhur, (Yogyakarta: Narasi, 2005), hlm. 189.
[6] Kayam merupakan salah satu penulis yang mengungkapkan tentang arti ketoprak
Saridin (Lihat dalam Skripsi Rendu Mahardika Primastuti, Skripsi:
Nilai-nilai Pendidikan Islam Lakon Syekh Jangkung Andum Waris Versi Ketoprak
Sri Kencono di Pati, (Semarang: Unnes, 2009), hlm.7.
[7] Nur Said, Jurnal Teologia: Saridin dalam Pengumulan Islam dan
Tradisi: Relevansi Islamisme Saridin Bagi Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir,
2011
[9] http://muhshofii.blogspot.co.id/2011/11/makam-saridin/diakses pada tanggal 26 Mei 2017 pukul 16.00 WIB
[10]Lihat “PengertianSuluk”dalamhttp://budayajawa.wordpress.com/2009/01/06/pengertian-suluk/, diakses pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 09.00 WIB
[11] Galih Ramadlan, Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Desa,
diperoleh 20 Mei 2017 dari
http://galihramadlan.blogspot.com/2012/01/kehidupan-dan-kebudayaan-masyarakat.html