Selasa, 06 Juni 2017

ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN Oleh Lu'luk IlMaknun



ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN
Dikerjakan Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah    : Pembelajaran SKI MI/SD
Dosen Pengampu        : Manijo, M.Ag


Oleh:
Lu’luk Il Maknun
(1410310105)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
2017
ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN

Syeh Jangkung atau biasa dipanggil Mbah Saridin adalah tokoh fenomenal yang menjadi sejarah legendaris warga Pati dari zaman ke zaman lintas generasi. Hidup pada era Walisongo sekitar abad 15. Makamnya terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen sejauh lebih kurang 17 Km dari Kota Pati. Kepandaian, keahlian dan ketokohan seorang Saridin ini tidak dapat diragukan lagi. Hal ini dibuktikan dengan  berbagai keahlian dan kepandaian yang dimilikinya seperti kepandaian dalam bidang agama, ilmu ketabiban, kanuragan, ahli siasat perang dan pertanian.[1] Saridin menjadi representasi dari tokoh rakyat yang berani memperjuangkan kebenaran bahkan melawan ketidakadilan secara lugu tanpa kekerasan dalam berhadapan dengan siapapun termasuk pihak penguasa Kadipaten Pati bahkan dengan Sunan Kudus pada masanya.
Sekitar masuknya Islam di Pati mendapat pengaruh besar dari peranan Syekh Jangkung semasa hidupnya. Berdasarkan sumber dari jurnal yang peneliti temukan, Saridin merupakan putra Ki Ageng Keringan yang bernama Sayid Abdullah ’Asyiq dengan Nyi Sujinah yang bergelar Dewi Samaran.[2] Saridin dilahirkan di Landoh, Kiringan, Kayen, Pati. Dinamakan Saridin (dari dua kata “sari” berarti inti/esensi dan kata “din” berarti agama), sehingga Saridin dimaksudkan sebagai sarinya agama (esensi agama).
Jejak langkah Saridin masih merupakan misteri, namun setidaknya menurut juru kunci makam Saridin, RH. Damhari Panoto Jiwo, menjelaskan bahwa Saridin adalah putra dari Syekh Abdul Hasyim dari Timur Tengah yang sedang mengembara di Jawa. Berdasarkan literatur Jawa, rupanya Ki Ageng Keringan merupakan orang tua angkat Saridin. Versi lain[3] menyatakan bahwa Saridin yang memiliki nama asli Raden Syarifudin merupakan putra  dari Raden Singa Parna (Syekh Safi’i) bersama ibu Robi’ah Attaji (Sekar Tanjung). Seperti dalam penafsiran pondok pesantren yang terletak di sekitar makam area makam.
Saridin dikenal dengan Syekh Jangkung tak lepas dari kepribadiannya yang dikenal sebagai pribadi yang dikinasih oleh Sang Pencipta dan jangkung (dikabulkan) segala permintaannya. Maka dalam bahasa Jawa disebut Sih (kinasih) Jangkung (dikabulkan). Dalam jurnal yang ditulis oleh Mulyani, mengatakan bahwa gelar Syekh yang disandang oleh Saridin merupakan gelar yang diberikan oleh kesultanan Rum dari tangan Johanspre. Sejak saat itu lenyaplah  nama Saridin, yang terdengar hanyalah Syekh Jangkung.
Sebelumnya Saridin telah menikah dengan istri pertamanya yang bernama Sarini. Memiliki putra Momok, namun akhirnya meninggal ketika masih perjaka. Lalu menikah lagi dengan putri dari Cirebon yang bernama Pandan Arum. Memiliki putra satu, bernama Raden Tirto Kusumo. Akhirnya menurunkan generasi hingga sekarang, yakni RH. Damhari Panoto Jiwo sebagai keturunan ke-11.[4]
Kepopuleran Saridin dalam masyarakat bawah (grass root) bukan saja karena berbagai keanehan sikap dan perilakunya di zaman kuwalen (walisongo), terutama ketika bergumul dan berinteraksi dengan Sunan Kudus, tetapi dia juga meninggalkan berbagai ajaran yang masih melekat dalam masyarakat lokal di Pati. Diantara ucapan Saridin adalah “Ojo njupuk nek ora dikongkon, ojo njaluk nek ora di dowek’i  (Jangan mengambil sesuatu, kalau tidak mendapatkan ijin yang memiliki, jangan meminta kalau bukan miliknya). Yang tak kalah menarik laku – lampah (perilaku) Saridin yang kocak dan penuh digdaya sudah banyak direproduksi dalam berbagai cerita dalam ketoprak.[5]
Kethoprak juga diungkapkan oleh Kayam,[6] bahwa kethoprak  merupakan bentuk teater yang paling popular di kalangan masyarakat dari pertama muncul sampai pertumbuhan sekarang. Pada mulanya kethoprak adalah permainan yang merupakan hiburan santai di waktu senggang di kalangan rakyat pedesaan, dengan mempergunakan alat-alat seadanya. Mereka berusaha mengombinasi bunyi yang dihasilkan dengan tarian yang bersifat improvisasi sebagai suatu pertunjukan yang menggunakan dialog untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Maka ketoprak merupakan suatu alat yang cocok digunakan dalam berdakwah membumikan Islam di daerah pati pada masanya, bahkan sampai dewasa ini. Termasuk didalamnya, yakni pesan-pesan Saridin tentang keIslaman bagi nusantara, khususnya masyarakat Pati.
Tepat di pintu masuk menuju Makam Syeh Jangkung, terdapat ornamen seni dua buah kelapa hijau. Dua buah kelapa tersebut menunjukkan kenangan riwayat perjalanan panjang Saridin, mulai dari membuktikan kebenaran adanya ikan dalam setiap air, termasuk di dalam buah kelapa saat ditanya Sunan Kudus, dua buah kelapa sebagai bekal bagi Saridin yang digunakan sebagai pelampung dalam pertapaannya atas perintah Sang Guru sejati (Sunan Kalijaga), dengan membawa pesan tidak boleh makan jika tidak ada makanan yang datang dan tidak boleh minum jika tidak ada air yang turun. Termasuk kisahnya, Saridin yang pernah memanjat buah kelapa yang sangat tinggi lalu menjatuhkan diri dari atas, sebagai bentuk perwujudan serah diri pada yang Maha Kuasa dengan memberi esensi makna syahadat.
Saat Saridin berguru dan nyantri di Pondok Pesantren asuhan Sunan Kudus, dari peristiwa yang dinilai Sunan Kudus sebagai tindakan pamer kesaktian ini, Saridin diusir dari tanah Kudus. Perjalanan selanjutnya, Saridin bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, lantas didaulat sebagai murid kanjeng Sunan Kalijaga. Waktu berjalan dan Saridin kemudian dijuluki Syekh Jangkung. Dari ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga ini, Syekh Jangkung diminta untuk menyebarkan agama Islam di Kadepaten Pesantenan Pati (nama Kabupaten Pati dulu), waktu dipimpin oleh Adipati Kembangjoyo atau bergelar Wasis Joyokusumo.[7]
Syekh Jangkung pertama kali mencoba untuk menyebarkan ajaran Islam di Desa Miyono yang lantas membawanya kepada perjalanan panjang karena terkenan tuduhan membunuh Branjung dan akhirnya dihukum mati. Lantaran Syekh Jangkung benar-benar sakti tapi lugu, Syekh Jangkung tidak mati dalam sebuah hukuman. Dari sini Syekh Jangkung kemudian melarikan diri ke Kudus dan hendak berguru ke Sunan Kudus. Lagi-lagi Syekh Jangkung membuat ulah dengan keluguannya yang pada akhirnya Sunan Kudus tidak berkenan dengan Syekh Jangkung.[8]
Karena berbagai keistimewaan dan kelebihannya, menurut cerita Saridin ketika dewasa berkelana di daerah-daerah pulau Jawa bahkan sampai di Sumatera untuk menyebarkan agama Islam.[9] Saridin tidak hanya terkenal di pesisir Jawa, Demak, Kudus, Pati, Rembang tetapi juga sampai di Cirebon, Betawi dan Palembang. Sedangkan di Kerajaan Mataram, Saridin diambil ipar oleh Sultan Agung, karena kakaknya Sultan Agung yang bernama Den Ayu Retno Jitu dipersunting oleh Saridin yang makamnya bersebelahan dengan Saridin di Kayen, Pati.
Karomah Syekh Jangkung bernama asli Saridin ini melegenda hingga saat ini. Terungkaplah apa rahasia dibalik sosok sederhana yang sejak kecil dikenal wali ‘njadab’ ini dalam ajaran Syekh Jangkung yang ditulis Syekh Jangkung yaitu “Suluk Saridin”.[10] Suluk ini adalah bukti bahwa Syekh Jangkung adalah sosok penyebar agama Islam di wilayah Grobogan (masa hidup Syekh Jangkung muda dan wilayah Pati (ketika dewasa) dan sekitarnya.
Masyarakat desa pada awalnya dikenal dengan sistem kepercayaan animism dan dinamisme yang sangat kuat.[11] Kepercayaan animism dan dinamisme merupakan kepercayaan asli masyarakat Jawa (terutama pedesaan), kemudian disusul datangnya pengaruh hindu budha.
Waktu berjalan, ajaran-ajaran Islam yang diajarkan para gurunya diteladani dan disebarkan oleh Saridin di desa-desa dari mulut ke mulut. Tuah karomah sejarah hidupnya menjadi daya tarik bagi orang-orang Jawa. Mereka yang awalnya beragama Budha, Hindu dan animism berdatangan ke Syekh Jangkung untuk belajar agama Islam.
Dikisahkan, Saridin dan sang anak lelakinya, Momok membangun pondok pesantren di desa Landoh, yang menjadi desa terakhir sampai Saridin wafat. Untuk menghidupi pondok, mereka babat alas dan membuat sawah serta menjadi petani. Untuk memudahkan pekerjaan, saridin menggunakan kerbau (yang disebut sebagai kerbau landoh) untuk membajak sawah. Pada akhir hayatnya, Saridin berpesan kelak kalau dirinya wafat maka kerbau landoh itu juga harus disembelih. Para santri dan keluarganya benar-benar melaksanakan pesan ini ketika Syekh Jangkung wafat.[12] Daging kerbau landoh dibagi-bagikan ke warga sekitar pondok, dan hingga saat ini kebiasaan membagi-bagikan daging kerbau itu masih dilestarikan masyarakat Pati bagian selatan khususnya desa Kayen, Sukolilo, Gabus dan Winong.
Demikian sedikit riwayat hidup Syekh Jangkung yang menjadi bukti hidupnya Islam di Pati Selatan di tangan Saridin (Syekh Jangkung). Beliau mendapatkan keistimewaan disisi Sang Khaliq. Maka tak berlebihan kalau Saridin dijuluki sebagai pribadi yang kinasih (Sih-Syeh) dan dijangkung (dikabulkan) segala ucapannya. Maka terkenal dengan Syekh Jangkungnya.
KeIslaman Saridin sudak tidak bisa diragukan lagi. Selain dari nasab yang baik, sebagai telah ditulis pada awal artikel ini, Saridin juga dikenal memiliki para guru istimewa dari para Wali kenamaan di Jawa, mulai dari Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria hingga Sunan Kudus, meskipun juga sarat dengan ”konfilk” dan ontran-ontran. Dengan demikian tidak diasingkan lagi bahwa peran Saridin dalam mengenalkan Islam kepada khalayak juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Mentalitas Saridin yang ikhlas, sabar, taat kepada guru dan orang tua, jujur dan iman kepada Allah SWT adalah nilai-nilai positif yang relefan dengan pendidikan karakter dalam konteks dulu sampai kekinian.
















RUJUKAN:
Endrasara, Suwardi. 2005. Tradisi Lesan Jawa, Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi
Mulyani, Hayuntri. Jurnal: Studi tentang Kompleks Makam Syekh Jangkung di Dukuh Landoh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen Kabupaten Pati. Surakarta: UNS
Primastuti, Rendu Mahardika. 2009. Skripsi: Nilai-nilai Pendidikan Islam Lakon Syekh Jangkung Andum Waris Versi Ketoprak Sri Kencono di Pati. Semarang: Unnes
Said, Nur. 2011. Jurnal Teologia: Saridin dalam Pengumulan Islam dan Tradisi: Relevansi Islamisme Saridin Bagi Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir
http://galihramadlan.blogspot.com/2012/01/kehidupan-dan-kebudayaan-masyarakat.html
http://www.walijo.com/2015/31/01/syeh-jangkung-murid-sunan-kalijaga
https://wongalus.wordpress.com




[1] Hayuntri Mulyani, Jurnal: Studi tentang Kompleks Makam Syekh Jangkung di Dukuh Landoh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, (UNS Surakarta, t.th), hlm. 3.
[2] Ibid, hlm. 8.
[3] Lihat dalam http://www.walijo.com/2015/31/01/syeh-jangkung-murid-sunan-kalijaga, diakses pada 30 Mei 2017 pukul 22.00 WIB
[4] www.ejurnalteologi.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 17.00 WIB
[5] Ketoprak merupakan seni pertunjukkan tradisi lisan popular di Pati. Penamaan istilah kethoprak tak lepas dari kata “prak” yaitu suara keprak (kenthongan) kecil yang selalu ditabuh saat transisi antara satu cerita dengan cerita lainnya. Lihat Suwardi Endrasara, Tradisi Lesan Jawa, Warisan Abadi Budaya Leluhur, (Yogyakarta: Narasi, 2005), hlm. 189.
[6] Kayam merupakan salah satu penulis yang mengungkapkan tentang arti ketoprak Saridin (Lihat dalam Skripsi Rendu Mahardika Primastuti, Skripsi: Nilai-nilai Pendidikan Islam Lakon Syekh Jangkung Andum Waris Versi Ketoprak Sri Kencono di Pati, (Semarang: Unnes, 2009), hlm.7.
[7] Nur Said, Jurnal Teologia: Saridin dalam Pengumulan Islam dan Tradisi: Relevansi Islamisme Saridin Bagi Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir, 2011
[8] www.direktori.com, diakses pada tanggal 28 Mei 2017 pukul 20.00 WIB
[9] http://muhshofii.blogspot.co.id/2011/11/makam-saridin/diakses pada tanggal 26 Mei 2017 pukul 16.00 WIB
[10]Lihat “PengertianSuluk”dalamhttp://budayajawa.wordpress.com/2009/01/06/pengertian-suluk/, diakses pada tanggal 27 Mei 2017 pukul 09.00 WIB
[11] Galih Ramadlan, Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Desa, diperoleh 20 Mei 2017 dari http://galihramadlan.blogspot.com/2012/01/kehidupan-dan-kebudayaan-masyarakat.html
[12] https://wongalus.wordpress.com, diakses pada tanggal 28 Mei 2017 pukul 21.00 WIB

Senin, 05 Juni 2017

MENGGALI INTELEKTUALITAS ISLAM DALAM MEWARNAI BUDAYA LOKAL DI DAERAH PATI Oleh: Lu’luk Il Maknun



MENGGALI  INTELEKTUALITAS ISLAM DALAM MEWARNAI BUDAYA LOKAL DI DAERAH PATI
Oleh: Lu’luk Il Maknun

Budaya dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan kata wisdom, dan lokal dengan kata local , sehingga dapat dimaknai dengan local wisdom. Local wisdom sendiri sangat berhubungan erat dengan  budaya pada daerah setempat. Budaya daerah setempat merupakan suatu tingkah laku, perlakuan, dan kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan secara continue dan berkelanjutan dalam kurun waktu yang sangat lama, sehingga telah mengakar pada jiwa warga masyarakat dalam suatu daerah setempat.
Local wisdom mempunyai hubungan erat dalam  ranah keyakinan, etnis, kepercayaan, yang mana menjadi sebuah eksistensi tersendiri dalam suatu daerah dan dijadikan sebuah pegangan oleh masyarakat dalam  satu daerah tertentu, seperti contoh yang disampaikkan oleh Abdurrahman Mas’ud (2006: 15) dalam bukunya Dari Haramain ke Nusantara sebagai berikut.
Jawa pada abad XIX M, menyaksikan kepemimpinan kiai dalam pesantern yang demikian unik, dalam arti menjaga ciri-ciri tradisional  pramodern. Para santri menerima kepemimpinan kiai karena percaya pada konsep dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau Baraka yang didasarkan atas doktrin keistimewaan status seorang ‘alim atau wali. Nawawi al-Bantani misalnya, menerima ciuman tangan dari hampir seluruh masyarakat Jawa yang tinggal di Mekkah sebagai sebuah ekspresi penghormatan ilmu dan moral secara simbolis, bukan secara pribadi.
Satu contoh diatas merupakan bentuk local wisdom yang mengandung nilai baik dan estetis dan telah  mengakar dalam diri masyarakat,dan budaya tersebut mengajarkan unsur kebajikan dalam bertingkah laku juga selaras dengan budaya Islamisasi.
Berbicara tentang local wisdom di daerah pantura timur erat hubungannya dengan intelektualitas keIslaman yang ada di daerah setempat. Acap kali pandangan masyarakat awam  memaknai tentang pemikiran  intelektual yang sudah pasti akan dapat menghilangkan budaya-budaya lokal yang sudah lama terpatri dalam tindak dan tingkah laku masyarakat. Namun Islamisasi intelektual memberi  warna agar local wisdom yang tertanam dalam tingkah laku masyarakat tersebut lebih bermakna.
Bernard T. Adeney dalam bukunya yang berjudul Etika Sosial Lintas Budaya (2000: 19) mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem simbol dari makna-makna: kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna pada hidup kita. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan mengacu pada suatu pola makna-makna yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang diturunalihkan secara historis, suatu sistem gagasan yang diwarisi dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai, serta sikap dan  pendirian terhadap kehidupan.
Salah satu daerah di pantura timur yang sangat kental dengan adat dan budayanya, penulis mengambil salah satu contoh dari daerah Pati. Dimana masyarakat setempat masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya luhur nenek moyang. Ulama Haramain atau para kiai datang dengan membawa nilai kebenaran yang terkandung dalam Islamisasi intelektualnya, sehingga  budaya yang telah mengakar tersebut diberi warna dan unsure yang mengandung nilai baik dan tidak menyimpang dari tatanan agama. Beberapa dari budaya tersebut, diantaranya ada budaya sedekah bumi. Budaya ini telah lama mengakar bahkan mendarah daging di masyarakat Pati. Pada mulanya sedekah bumi ini dijadikan dalam bentuk sesaji tanpa adanya unsur keagamaan. Pemikir intelek Islam (kiai/ulama’), dalam konteks Islamisasi  sedekah bumi tersebut member makna sebagai bentuk syukur atas segala rahmat dan anugerah yang telah Allah berikan untuk bumi pertiwi sehingga manusia dapat hidup dengan segala nikmat dari alam yang Allah berikan. Dari bentuk budaya sedekah bumi itu Ulama Haramain meleburkan menjadi bentuk tasyakuran yang lebih mengandung unsur kebajikan, bahkan bernilai ibadah.
Budaya lain pada daerah Pati terdapat istilah budaya mendem ari, dalam artian ari-ari (plasenta) dari bayi yang baru lahir tersebut dikuburkan dengan disertakan buku dan alat tulis. Budaya tersebut dipercayai supaya anak yang baru lahir kelak akan menjadi seorang pemuda yang berilmu dan berpengetahuan tinggi. Namun persepsi masyarakat awam yang sempit tersebut kemudian dilebur dan di luruskan dengan pemikir Islam, sehingga paradigma tersebut mengarah pada ari-ari bayi yang baru lahir dikuburkan supaya aman dan bersih dari binatang-binatang buas yang akan mendatanginya, sehingga bayi berada di tempat yang aman bersih dan terindungi dari kotoran-kotoran bahkan binatang-binatang yang dapat mengganggu kenyamanan si bayi. Contoh lain terdapat istilah budaya mbangun nikah. Budaya ini juga sudah lama terpatri pada tindak laku masyarakat, namun istilah tersebut lebih diarahkan pada seorang istri yang sudah ditalak satu oleh suaminya, dan sang suami hendak memperbaiki pernikahannya kembali, maka upacara pernikahan tersebut dinamai denga istilah mbangun nikah, namun dimana kegiatan atau budaya tersebut tidak terlepas atau bahkan menyimpang dari kaidah-kaidah yang ada dalam fiqih Islam tentang aturan pernikahan.
Masih banyak lagi budaya-budaya lokal pada daerah Pati yang sampai saat ini diyakini dan diberlakukan oleh masyarakat, dimana budaya tersebut meski dengan istilah local namun tidak terlepas dengan kaidah-kaidah  Islam dan dari pandangan intelektual pemikir Islam.
Kearifan lokal hendaknya juga tidak dijadikan sebagai bentuk pendeskriminasian dengan dalih dapat menghambat kemajuan teknologi, pengetahuan, dan globalisasi yang ada. Namun lebih diarahkan pada penghargaan terhadap budaya masa lampau yang memilliki unsur kebajikan dan terarah dengan adanya kajian intelektual Islam, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal setempat dalam ranah budaya, Islam bahkan mengandung nilai ekonomis.

RUJUKAN
Abdurrahman Mas’ud. 2006. Dari Haramain ke Nusantara. Jakarta: Kencana
Bernard T. Adeney. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Teologi

ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN Oleh Lu'luk IlMaknun

ISLAMNYA PATI SELATAN DITANGAN SARIDIN Dikerjakan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah     : Pembelajaran SKI MI/SD Dosen Pengampu  ...