MENGGALI
INTELEKTUALITAS ISLAM DALAM MEWARNAI BUDAYA LOKAL DI DAERAH PATI
Oleh: Lu’luk Il Maknun
Budaya dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan
kata wisdom, dan lokal dengan kata local , sehingga dapat
dimaknai dengan local wisdom. Local wisdom sendiri sangat
berhubungan erat dengan budaya pada
daerah setempat. Budaya daerah setempat merupakan suatu tingkah laku,
perlakuan, dan kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan secara continue
dan berkelanjutan dalam kurun waktu yang sangat lama, sehingga telah mengakar
pada jiwa warga masyarakat dalam suatu daerah setempat.
Local wisdom mempunyai hubungan erat dalam ranah keyakinan, etnis, kepercayaan, yang mana
menjadi sebuah eksistensi tersendiri dalam suatu daerah dan dijadikan sebuah
pegangan oleh masyarakat dalam satu
daerah tertentu, seperti contoh yang disampaikkan oleh Abdurrahman Mas’ud
(2006: 15) dalam bukunya Dari Haramain ke Nusantara sebagai berikut.
Jawa pada abad XIX M, menyaksikan kepemimpinan
kiai dalam pesantern yang demikian unik, dalam arti menjaga ciri-ciri
tradisional pramodern. Para santri
menerima kepemimpinan kiai karena percaya pada konsep dalam masyarakat Jawa,
yaitu berkah atau Baraka yang didasarkan atas doktrin keistimewaan
status seorang ‘alim atau wali. Nawawi al-Bantani misalnya, menerima ciuman
tangan dari hampir seluruh masyarakat Jawa yang tinggal di Mekkah sebagai
sebuah ekspresi penghormatan ilmu dan moral secara simbolis, bukan secara
pribadi.
Satu contoh diatas merupakan bentuk local
wisdom yang mengandung nilai baik dan estetis dan telah mengakar dalam diri masyarakat,dan budaya
tersebut mengajarkan unsur kebajikan dalam bertingkah laku juga selaras dengan
budaya Islamisasi.
Berbicara tentang local wisdom di
daerah pantura timur erat hubungannya dengan intelektualitas keIslaman yang ada di daerah setempat. Acap kali pandangan
masyarakat awam memaknai tentang
pemikiran intelektual yang sudah pasti
akan dapat menghilangkan budaya-budaya lokal yang sudah lama terpatri dalam
tindak dan tingkah laku masyarakat. Namun Islamisasi intelektual memberi warna agar local wisdom yang tertanam dalam tingkah laku masyarakat tersebut lebih bermakna.
Bernard T. Adeney dalam bukunya yang berjudul
Etika Sosial Lintas Budaya (2000: 19) mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem
simbol dari makna-makna: kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami
dan memberi makna pada hidup kita. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan mengacu
pada suatu pola makna-makna yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang
diturunalihkan secara historis, suatu sistem gagasan yang diwarisi dan
diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia menyampaikan,
melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai, serta sikap
dan pendirian terhadap kehidupan.
Salah satu daerah di pantura timur yang sangat
kental dengan adat dan budayanya, penulis mengambil salah satu contoh dari
daerah Pati. Dimana masyarakat setempat masih sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai dan budaya luhur nenek moyang. Ulama Haramain atau para kiai datang
dengan membawa nilai kebenaran yang terkandung dalam Islamisasi intelektualnya,
sehingga budaya yang telah mengakar
tersebut diberi warna dan unsure yang mengandung nilai baik dan tidak menyimpang
dari tatanan agama. Beberapa dari budaya tersebut, diantaranya ada budaya sedekah
bumi. Budaya ini telah lama mengakar bahkan mendarah daging di
masyarakat Pati. Pada mulanya sedekah bumi ini dijadikan dalam bentuk sesaji
tanpa adanya unsur keagamaan. Pemikir intelek Islam (kiai/ulama’), dalam
konteks Islamisasi sedekah bumi tersebut
member makna sebagai bentuk syukur atas segala rahmat dan anugerah yang telah
Allah berikan untuk bumi pertiwi sehingga manusia dapat hidup dengan segala
nikmat dari alam yang Allah berikan. Dari bentuk budaya sedekah bumi itu Ulama
Haramain meleburkan menjadi bentuk tasyakuran yang lebih mengandung unsur kebajikan,
bahkan bernilai ibadah.
Budaya lain pada daerah Pati terdapat istilah
budaya mendem ari, dalam artian ari-ari (plasenta) dari bayi yang
baru lahir tersebut dikuburkan dengan disertakan buku dan alat tulis. Budaya
tersebut dipercayai supaya anak yang baru lahir kelak akan menjadi seorang
pemuda yang berilmu dan berpengetahuan tinggi. Namun persepsi masyarakat awam
yang sempit tersebut kemudian dilebur dan di luruskan dengan pemikir Islam,
sehingga paradigma tersebut mengarah pada ari-ari bayi yang baru lahir
dikuburkan supaya aman dan bersih dari binatang-binatang buas yang akan
mendatanginya, sehingga bayi berada di tempat yang aman bersih dan terindungi
dari kotoran-kotoran bahkan binatang-binatang yang dapat mengganggu kenyamanan
si bayi. Contoh lain terdapat istilah budaya mbangun nikah.
Budaya ini juga sudah lama terpatri pada tindak laku masyarakat, namun istilah
tersebut lebih diarahkan pada seorang istri yang sudah ditalak satu oleh
suaminya, dan sang suami hendak memperbaiki pernikahannya kembali, maka upacara
pernikahan tersebut dinamai denga istilah mbangun nikah, namun dimana kegiatan
atau budaya tersebut tidak terlepas atau bahkan menyimpang dari kaidah-kaidah
yang ada dalam fiqih Islam tentang aturan pernikahan.
Masih banyak lagi budaya-budaya lokal pada
daerah Pati yang sampai saat ini diyakini dan diberlakukan oleh masyarakat,
dimana budaya tersebut meski dengan istilah local namun tidak terlepas dengan
kaidah-kaidah Islam dan dari pandangan
intelektual pemikir Islam.
Kearifan lokal hendaknya juga tidak dijadikan
sebagai bentuk pendeskriminasian dengan dalih dapat menghambat kemajuan teknologi, pengetahuan, dan globalisasi yang ada. Namun
lebih diarahkan pada penghargaan terhadap budaya masa lampau yang memilliki
unsur kebajikan dan terarah dengan adanya kajian intelektual Islam, sehingga
dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal setempat dalam ranah budaya, Islam
bahkan mengandung nilai ekonomis.
RUJUKAN
Abdurrahman Mas’ud. 2006. Dari Haramain ke Nusantara. Jakarta:
Kencana
Bernard T. Adeney. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Teologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar